Jumat, 23 Juli 2010

RIMPU MBOJO


RIMPU MBOJO
( Kebudayaan Islam BIMA Yang Mulai Luntur)
(Disusun dari berbagai sumber untuk Tugas Mata Kuliah Tekinfokom Pendidikan Program Pascasarjana Kependidikan Universitas Mulawarman)
Oleh : Sudarmin Daud Wahab Nim. 0905136274
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna.Salah satu budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo) adalah budaya ”rimpu” yang telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima itu ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam). Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon). Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu, ujarnya.Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri, paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). ni adalah kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,contohnya.Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita, paparnya. Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hamper sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang. sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Tembe Nggoli adalah sarung tenun tangan khas Bima, dibuat dari benang kapas (katun), dengan warna-warni yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan. Keistimewaanya Tembe Nggoli antara lain: * Hangat * Halus dan lembut * Tidak mudah kusut * Warna cemerlang lebih lama Saat ini, Tembe Nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam corak dan motif. Ada yang 'biasa' (untuk dipakai sehari-hari), dan ada pula yang istimewa yang hanya dipakai pada acara-acara resmi. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon). Pada jaman-jaman dulu penggunaan motif ini menunjukkan strata sosial masyakat yang memakainya, misalnya songket yang nggusu waru biasanya dipakai oleh kalangan bangsawan (kalangan menengah ke atas) sementara sarung nggoli lebih banyak dipakai oleh kalangan menengah ke bawah. Walaupun demikian tidak terlihat adanya suatu kecemburuan sosial dalam kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo).Cara memakai sarung antara pria dan wanita berbeda. Bagi kaum pria, sarung dipakai seperti layaknya kaum pria di Indonesia lainnya, yaitu digulung ketat pada perut/pinggang, yang disebut "katente" tadi. Bagi kaum wanita, sarung tidak digulung melainkan dilipat dan diselipkan (dijepit agar tidak terlepas), yang disebut "sanggentu". Selain itu perbedaan juga terletak pada posisi "bali" (yaitu bagian sarung yang diberi warna/motif berbeda, biasanya ditaruh pada bagian belakang ketika dipakai). Bagi kaum pria, 'bali' diletakkan agak ke kanan, sedangkan bagi kaum wanita 'bali' diletakkan agak ke kiri. Pemahaman tentang letak 'bali' ini menunjukkan tingkat pengetahuan pemakai sarung, atau menunjukkan ketelitiannya dalam berpakaian.Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya. Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudahsepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya tersebut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima. semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.Perempuan Bima yang selalu mengenakan rimpu dan tahu jelas identitasnya tanpa harus berlindung dibalik identitas orang lain. Namun demikian, kita jangan lantas berputus asa dan membiarkan budaya manis dan bernilai ini hilang ditelan waktu seiring dengan perkembangan zaman, tapi mari kita bangkit dan bangunkan kembali. Kita dapat memulainya dari keluarga kita sendiri. Wanita Bima, juga tidak seharusnya latah, bersembunyi di balik ide kebebasan, liberalisme, sekularisme, feminisme dan isme-isme yang lain hanya untuk melepaskan tanggung jawab itu. Mari semua pihak berjalan bersama menjalankan fungsinya masing-masing. Saya yakin dengan sebuah komitmen dan awal yang baik dari masing-masing keluarga, budaya rimpu ini bisa terbangun kembali. Haruskah kita menunggu negara lain menggali sejarah budaya kita yang kemudian mereka adopsi dan menjadikan itu sebagai warisan nenek moyang mereka. Namun semoga rimpu yang dulu melekat dan begitu memikat namun akhirnya mangkat, smoga bisa jadi simbol bahwa perempuan Bima menjadi terhormat, menjaga aura dan aurat.
Referensi Web : 1. Judul : Rimpu Mbojo Yang Nyaris Kehilangan Makna Alamat : http://bimacenter.com/content/view/199/202/ Penulis : Yayi Sundari 2. Judul : Tembe Nggoli Alamat : http://www.bimakab.go.id/index.php?pilih=hal&id=12 sumber : data base kab.bima, www.bimacenter.com 3. Judul : Kebudayaan Bima Alamat : http://www.bimakab.go.id/index.php?pilih=hal&id=12 sumber : data base kab.bima, www.bimacenter.com